Rabu, 04 Juli 2012

Konseling Lintas Budaya

KONSELING LINTAS BUDAYA
Oleh: Boy Soedarmadji

A. Pengantar
Sesuai dengan kodrat yang dimiliki oleh manusia bahwa manusia diciptakan sebagai individu dan mahkluk sosial. Sebagai individu, manusia diciptakan dengan mempunyai ciri yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, manusia atau individu dapat dikenali oleh orang lain dengan mengenal ciri ciri tertentu yang dimilikinya.
Sebagai mahkluk sosial, manusia merupakan bagian da¬ri masyarakat di sekitarnya. Bagian lingkungan terkecil yang mempengaruhi pola kehidupan manusia adalah keluarga (family). Setelah itu, individu tersebut mulai melakukan interaksi dengan lingkungan yang lebih luas, yaitu lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini mengartikan bahwa seluruh tingkah laku manusia tidak akan lepas dari kehidupan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal ini meng¬artikan pula bahwa individu tersebut hidup bersama dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam keadaan hidup bersama ini masyarakat menciptakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Sesuatu yang diciptakan itu bisa berupa benda¬-benda (artifak), peraturan dan nilai nilai yang dipakai secara kolektif. Dengan mempergunakan kematangan dirinya, maka masyarakat tersebut menciptakan suatu ben¬tuk budaya tertentu. Spesifikasi budaya yang dimiliki oleh masyarakat tertentu akan berbeda dengan budaya yang dimiliki oleh masyarakat lainnya (Herr, 1999). Dengan demikian, budaya akan dapat dipakai sebagai salah satu cara untuk mengenal masyarakat tertentu (Goldenweiser, 1963; Vontress, 2002).
Pedoman hidup yang telah diciptakan itu dipakai secara bersama sama dan dilakukan secara turun temurun. Kebersamaan ini dapat dilihat dari serangkaian proses kehidupan manusia. Manusia lahir ke dunia selalu membutuhkan orang tua untuk dapat bertahan hidup. Pada usia anak anak, mereka akan mengadopsi nilai nilai yang diajarkan oleh orang tuanya tanpa ada protes yang berarti. Dalam hal ini, orang tua meletakkan dasar dasar¬ pergaulan di dalam rumah dan di masyarakat. Setelah dia menginjak masa remaja, dia mulai mengadopsi nilai nilai yang ada di masyarakat, dan selanjutnya dia akan mulai belajar untuk hidup mandiri.
Individu dalam berperilaku mengacu pada sesuatu yang diyakini baik dan dianggap benar oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Keyakinan ini menjadi panutan bagi masyarakat secara umum. Keyakinan ini dapat bersumber dari agama atau kesepakatan umum. Keyakinan yang berasal dari agama tidak akan dapat dirubah oleh manusia, artinya bersifat dogmatis. Tetapi, masyarakat juga menciptakan suatu keyakinan yang lebih khusus lagi, dimana keyakinan ini menjadi panutan, pedoman hidup dan diagungkan. Keyakinan yang muncul di masyarakat ini diwujudkan dalam bentuk ide ide/pemikiran (idea), tujuan tujuan tertentu (goals), serta suatu perilaku yang sifatnya sangat mendasar dan diyakini kebenarannya oleh individu (spesific behavior). Hal ini lebih dikenal dengan istilah nilai/value (Kluckhohn, 1962, Albert. 1963. Dalam Biggs, Pulvino & Beck: 19 ... ;Fraenkel, 1977).
Nilai yang dimiliki oleh seseorang akan memberikan arah bagi individu untuk mengartikan sesuatu hal yang berkenaan dengan perilaku yang akan ditampakkannya. Selain itu, nilai nilai yang dianutnya akan menjadi suatu gaya hidup individu tersebut. Dengan demikian, yang diinginkannya untuk masa depannya sudah mulai tergambar (Weinstock & O'dowd, 1970. Dalam Biggs, Pulvino Beck, 19 ).
Nilai yang dimiliki oleh individu diadopsi dari lingkungan di mana dia berada. Lingkungan terkecil dan terdekat dengan individu adalah keluarga. Individu akan menginternalisasi nilai nilai yang ada dalam keluarga. Hal hal apa saja yang dianggap baik akan diinternalisasi oleh individu tersebut. Lebih luas lagi, in¬dividu juga mengadopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat. Masyarakat ini merupakan tempat atau wadah bagi individu untuk melakukan sosialisasi. Adopsi nilai nilai yang berkembang di masyarakat akan di¬lakukan oleh individu. Selain dua hal tersebut, media massa (mass media) juga merupakan suatu media yang dapat dipergunakan oleh individu untuk mengadopsi nilai nilai budaya tertentu.

B. Budaya
Dalam kehidupan sehari hari, tiap individu akan ber¬usaha untuk menunjukkan siapa sebenarnya dirinya. Hal ini ditunjukkan dengan memberikan pendapat dan perilaku tertentu, bagaimana bersikap dan mungkin menunjukkan be¬berapa "keanehan" tertentu. Aktualisasi diri ini bisa ja¬di berbeda dengan apa yang selama ini dianut oleh masya¬rakat sekitarnya, tetapi seringkali pula (bahkan harus) seorang individu menampakkan perilaku sesuai dengan apa yang sering dimunculkan oleh masyarakat di mana dia berada. Kesamaan perilaku, sikap, penampilan, pendapat dan lain sebagainya itu tercermin dalam keseharian individu. Hal ini ditunjang pula dengan adanya "restu" dari masyarakat. Sehingga, tampak adanya kesamaan perilaku, sikap, pendapat antara individu, dengan masyarakat disekitarnya. Bahkan seringkali hal hal yang ditampakkan oleh individu bisa dijadikan acuan untuk mengenal dari mana individu itu berasal.
Definisi kebudayaan dapat didekati dari beberapa macam pendekatan. Pendekatan pendekatan itu seperti pendekatan antropologi, psikologi bahkan dari pendidikan. Salah satu tokoh antropologi yaitu E. B. Tylor (dalam Ahmadi, 1986; Soekanto, 1997) mendefinisikan budaya sebagai berikut, kebudayaan adalah keseluruhan yang komplek, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Para ahli antropologi lainnya, mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu bentuk perilaku, suatu hubungan atau interaksi antara manusia yang di dalamnya terdapat keyakinan, nilai nilai dan peraturan (Graves, 1986: Rose et all, 1982; Spradley, 1979; McDermot, 1980; Brislin, 1981; Linton, 1939. Dalam Herr, 1989). Kluckhohn (dalam Rosjidan:1995) mendefinisikan budaya sebagai berikut:
Budaya terdiri dari berbagai pola tingkah laku, ekspli¬sit dan implisit, dan pola tingkah laku itu (diperoleh dan dipindahkan melalui simbol, merupakan karya khusus kelompok kelompok manusia, termasuk penjelmaannya dalam bentuk hasil budi manusia; inti utama budaya terdiri dari ide ide tradisional, terutama nilai nilai yang me¬lekatnya; sistem budaya pada satu sisi dapat dipandang sebagai hasil perbuatan, pada sisi lain, sebagai penga¬ruh yang menentukan perbuatan perbuatan selanjutnya.

Lebih lanjut, tokoh pendidikan nasional kita bapak Ki Haiar Dewantara (1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut:
Budaya berarti buah budi manusia, adalah hasil perjoa¬ngan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Pendapat Ki Hajar Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi (1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat
Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dengan demikian, Suatu hasil budaya kelompok masyarakat tertentu akan dianggap lebih tinggi dan bahkan mungkin lebih diinginkan. Hal ini dilakukan agar kelompok masyarakat tertentu itu memiliki derajat atau tingkatan yang lebih baik dari "tetangganya".
Nilai selalu berhubungan dengan hal hal yang bersifat baik atau buruk, bagus atau jelek, positif atau negatif, indah atau buruk. Karena nilai berkaitan erat dengan keyakinan yang dimiliki oleh individu, maka hal tersebut akan terkait pula dengan bagaimana individu mengadopsi nilai nilai. Sedangkan apa yang telah diadopsi tersebut akan ditampakkan dalam wujud perilaku, sikap, ide ide serta penalaran. Dengan demikian, antara individu yang satu dengan individu yang lain dapat mempunyai perbedaan walau mereka berasal dari latar budaya yang sama.

C. SIFAT BUDAYA
Sifat budaya ada dua, yaitu budaya yang bersifat universal (umum) dan budaya yang khas (unik). Budaya universa! mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang dimiliki oleh semua lapisan masyarakat. Nilai nilai ini dijunjung tinggi oleh segenap manusia. Dengan demikian, secara umum umat manusia yang ada dunia ini memiliki ke¬samaan nilai nilai tersebut. Contoh dari nilai universal ini antara lain manusia berhak menentukan hidupnya sendi¬ri, manusia anti dengan peperangan, manusia mementingkan perdamaian, manusia mempunyai kebabasan dan lain lain.
Nilai budaya yang khas (unik) adalah suatu nilai yang dimiliki oleh bangsa tertentu. Lebih dari itu, ni¬lai nilai ini hanya dimiliki oleh masyarakat atau suku/ etnis tertentu dimana keunikan ini berbeda dencan kelompok atau bangsa lain. Keunikan nilai ini dapat meniadi barometer untuk mengenal bangsa atau kelompok tertentu.
Nilai budaya yang dianut oleh masyarakat tertentu pada umumnya dianggap mutlak kebenarannya. Hal ini tampak pada perilaku yang ditampakkan oleh anggota masyarakat itu. Mereka mempunyai keyakinan bahwa apa yang dianggap benar itu dapat dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari hari. Selain itu, nilai budaya yang diyakini kebe¬narannya tersebut dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan masalah yang timbul. Dengan kata lain bahwa nilai budaya tertentu yang ada dalam suatu masyarakat mempunyai suatu cara tersendiri untuk memecahkan permasa¬lahan yang timbul dalam anggota masyarakat tersebut (Lee & Sirch, 1994).
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, yang multi etnis. Dengan demikian sangat banyak nilai-nilai unik yang ada di dalam etnis bangsa Indonesia. Tiap daerah mempunyai nilai nilai khas yang sangat dijunjung tinggi oleh kelompok masyarakatnya. Kalimat tersebut mengundang suatu pertanyaan yaitu, apakah bangsa Indonesia tidak mempunyai budaya nasional? Punya!
Setelah kita merdeka dan menyatakan sebagai bangsa yang bersatu, saat itu pulalah mulai digali nilai nilai yang ada di dalam kelompok etnis bangsa Indonesia. Dalam hal ini, disusun suatu pola yang dapat mewakili budaya Indonesia secara utuh. Nilai nilai yang disatukan itu dijadikan pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu kesatuan lima sila dalam Pancasila; Ketuhanan Yang Maha Esa, Kema¬nusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Rosjidan 1995).
Kebudayaan universal atau lebih dikenal dengan kebudayaan nasional bangsa Indonesia tidak bersifat dogmatis dan statis. Hal ini memungkinkan terjadi proses penyempurnaan secara terus menerus. Penyempurnaan ini digali dari budaya yang unik tersebut. Artinya budaya atau nilai nilai yang khas yang dimiliki oleh suku suku di Indonesia secara terus menerus memberikan sumbangan untuk sempurnanya budaya nasional ini juga untuk menjawab tuntut¬an jaman yang terus berkembang dan semakin maju.
Ki Hajar Dewantara (1977) menjelaskan lebih lanjut tentang sifat kebudayaan yang tidak statis tersebut. Kebudayaan mempunyai tujuan untuk memajukan hidup manusia kearah keadaban. Oleh sebab itu perlu diingat bahwa:

1. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan kebudayaan dengan tiap tiap pergantian alam dan jaman;
2. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus selalu ada hubung an antara kebudayaan dan masyarakat;
3. Pembaharuan kebudayaan mengharuskan pula adanya hu¬bungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memajukan, menyempurnakan) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri;
4. Memasukkan kebudayaan lain, yang tidak sesuai dengan alam dan jamannya, hingga merupakan "pergantian kebu¬dayaan" yang menyalahi tuntutan kodrat dan masyarakat selalu membahayakan;
5. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri, menuju kearah kesatuan kebuda¬yaan dunia dan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam Iingkungan kemanusiaan sedunia.

D. SOSIALISASI BUDAYA
1. Peran Keluarga
Proses kepemilikan (sosialisasi) budaya dari generasi ke generasi tidak bersifat herediter. Proses kepemilikan budaya antar generasi melalui proses belajar (Ihrom, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa peran orang yang lebih tua akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan budaya itu sendiri. Pengertian sosialisasi dalam bahasan ini adalah suatu proses yang harus dilalui manusia muda untuk memperoleh nilai nilai dan pengetahuan mengenai kelompoknya dan belajar mengenai peran sosialnya yang cocok dengan kedudukannya di situ (Goode, 1991).
Individu akan belajar mengenal keadaan sekitarnya pertama kali melalui orang orang yang paling dekat dengan dirinya. Orang orang yang paling dekat dengan dirinya tidak lain adalah keluarga, terutama adalah orang tuanya. Dengan demikian, orang tua merupakan orang pertama yang mengajarkan budaya kepada anaknya. Nilai nilai ini diajarkan kepada generasi muda (anak) karena akan menunjukkan kepada mereka tentang bagaima cara bertindak secara benar dan bisa diterima oleh masyarakat (Fraenkel, 1977).
Orang tua akan mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana bertindak, bersikap, berpikir dan berkeya¬kinan terhadap sesuatu hal. Disengaia atau tidak, proses belaiar ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Secara sadar. biasanya orang tua langsung meng¬ajarkan sesuatu kepada anaknya. Secara tidak sadar, orang tua melakukan perilaku tertentu dan oleh anak. Dengan demikian, orang tua secara tidak sengaja mengajarkan sesuatu kepada anak. Sebagai salah satu contoh, dalam budaya Jawa orang jawa akan mengajarkan cara makan kepada anaknya. Seringkali orang jawa mengatakan Nek mangan ojo karo ngomong mengko dikancani setan" (Kalau makan jangan sambil berbicara, nanti ditemani setan). Dalam hal ini, orang tua mengaiarkan perilaku tertentu kepada anaknya, yaitu berperilaku sopan. Hanya saia, penyampaiannya mempergunakan simbol simbol tertentu.
Dalam tatanan budaya Jawa, anak telah diajarkan tentang nilai nilai (budaya) sejak anak mereka masih bayi. Hal ini tampak pada saat ibu menggendong bayinya. Bayi akan digendong oleh ibunya pada posisi pinggang kiri. Dengan digendong pada pinggang kiri ini, maka tangan kanan anaknya akan dapat bergerak dengan bebas untuk menerima apa saia yang diberikan oleh ibu atau bapaknya. Secara tidak langsung, orang tua telah mangajarkan budaya atau nilai nilai kesopanan pada anaknya (Gertz, 1993),
Dari contoh di atas, tampak bahwa orang tua akan berusaha untuk menanamkan nilai nilai atau norma norma tertentu kepada generasi berikutnya (anak). Sebagai salah satu contoh apa yang telah diuraikan panjang lebar di atas adalah sebagai berikut:

Semua orang mempunyai kebutuhan untuk makan. Hal ini merupakan insting setiap manusia. Dimanapun di muka bumi ini pasti orang butuh untuk makan. Tetapi makan ini bukan suatu budaya. Tetapi bagaimana cara makan, itu yang merupakan budaya. Orang tua yang akan menga¬jarkan bagaimana cara makan yang baik menurut ukuran keluarga tersebut.

Orang jawa mengajarkan makan dengan cara memakai tangan (muluk) dan harus memakai tangan kanan. Ini adalah hal yang dianggap baik. Orang Eropa akan mengajarkan kepada anaknya makkan dengan mempergunakan garpu dan pisau dan lain sebagainya.

2. Peran Masyarakat.

Dari peran lingkup sosial yang paling kecil, selanjutnya akan kita bahas peran lingkup sosial yang berikutnya, yaitu masyarakat. Masyarakat merupakan suatu kesatuan dari beberapa keluarga inti yang mempu¬nyai ciri ciri yang hampir sama. Masyarakat ini pada, umumnya tinggal di suatu daerah yang mempunyai batas dengan dengan daerah daerah lainnya. Pada masyarakat tertentu, batasan batasan ini biasanya dengan mempergunakan tembok tembok besar atau tanaman tanaman bambu (Koentjaraningrat, 1988). Pembatasan daerah yang satu dengan daerah lain ini bertujuan agar ketenangan suatu masyarakat tertentu tidak terusik oleh masyarakat yang lainnya. Pada masa lalu batasan atau pagar desa ini mempunyai tujuan agar mereka tidak diserang oleh desa atau masyara¬kat lainnya (Koentjaraningrat, 1988). Lebih daripada itu, pagar desa ini bertujuan agar mereka dapat meles¬tarikan budaya yang selama ini dianutnya,.
Peran masyarakat dalam proses inkulturasi atau sosialisasi budaya adalah sangat penting. Dalam pendekatan behaviorisme, dinyatakan bahwa perilaku dan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dimana dia berada. Lingkungan yang pertama adalah lingkungan keluarga dan yang berikutnya adalah masya¬rakat sekelilingnya. Masyarakat mempunyai beberapa peraturan (hasil budaya) yang secara langsung mengikat seseorang yang menjadi anggota masyarakatnya.
Masyarakat menciptakan hukum adat, dimana hukum adat itu dibuat untuk menjaga tata tertib dan dijaga sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai suatu ketaatan yang seolah olah otomatis terhadap adat, dan kalau ada pelanggaran, maka secara otomatis pula akan timbul reaksi mesyarakat untuk menghukum pelanggar itu (Radclifle & Brown, dalam Koentjaraningrat:1990). Dengan demikkian, hukum adat itu akan langsung mengikat anggota masyarakatnya, dan mereka tidak akan lepas dari nilai nilai atau peraturan yang telah dise¬pakati bersama.
Contoh peraturan yang mengikat anggota masyarakat untuk terus melaksanakan adat atau budaya bisa kita jumpai dari beberapa suku bangsa kita seper¬ti suku Nias. Pada suku Nias, terdapat peraturan yang disebut dengan fondrako (Koentjaraningrat, 1998), peraturan ini dibuat dengan disertai kutukan lekas mati bagi anggota kelompok masyarakat itu yang berani melanggar. Hukum adat ini ditetapkan dalam suatu sidang tertentu. Peraturan yang demikian keras ini akan menjadi semacam hukuman atau punishment bagi mereka yang melanggar.
Dalam masyarakat Jawa juga terlihat peraturan ¬peraturan yang mengikat dan masih sering dilaksanakan. Walaupun tidak terlalu keras, tetapi masyarakat Jawa mengikutinya dengan penuh kesadaran. Masyarakat Jawa dikenal dengan perasaan yang sangat halus, dengan demikian, ungkapan ungkapan yang bertujuan untuk mela¬rang suatu tindakan tertentu juga diungkapkan dengan halus pula. Apabila orang jawa mengatakan “saru" (tabu) atau “ora njawa", biasanya mereka yang melakukan tindakan tertentu (salah) akan merasa "isin" (malu) dan tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi.
Peraturan yang mengikat dari sekelompok Masyarakat tertentu akan membentuk suatu pola perilaku dari seseorang. Bagaimana dia berperilaku, berpikir, bersikap dan lain sebagainya akan merefleksikan aturan yang dibuat oleh masyarakat dimana dia tinggal (Riesman, dalam Herr, 1989). Sehingga akan terbentuk suatu kepribadian dasar (basic personality) atau kepribadian rata rata (lhrom, 1990).
Generasi muda mempunyai kecenderungan untuk mencontoh apa apa yang dilakukan oleh generasi sebelumnya. Hal ini memang salah satu proses pemilikan yang dilakukan oleh kaum muda. Dalam proses peniruan ini terjadi suatu proses belajar yang tidak disadari. Artinya dari pihak generasi tua tidak mengajarkan budaya tertentu kepada generasi mudanya secara langsung. Mungkin, apa yang dilakukan oleh generasi tua itu juga merupakan proses belajar meniru dari generasi sebelumnya.
Bateson (dalam Ihrom, 1983) mengilustrasikan suatu peristiwa yang menunjukkan proses belajar melalui perilaku meniru dari suku pengayau latmul (lrian jaya) sebagai berikut:

“Seorang yang berkedudukan penting, waktu memasuki gedung upacara, sadar bahwa mata khalayak ramai sedang memperhatikannya dan reaksinya terhadap hal itu adalah menunjukkan sikap yang berlebih lebihan. Dia akan memasuki ruangan dengan berbagai gerak gerik dan men¬coba menarik perhatian orang terhadap kehadirannya dengan sesuatu ucapan. Kadang kadang dia cenderung untuk bersikap berlagak dan merasa bangga secara agak berlebih lebihan. Kadang kadang pula reaksinya ialah membadut ... bertambah tinggi kedudukannya bertambah menyolok tingkah lakunya.
Pada kaum muda, yang belum lagi mempunyai kedu¬dukan, ditemukan sikap lebih menguasai diri. Mereka akan memasuki gedung upacara dengan tenang, tanpa menarik perhatian, dan diantara orang orang yang lebih senior dan sedang berlagak itu, mereka duduk diam diam serta bersungguh sungguh. Tetapi untuk pemuda pemuda ini ada pula sebuah gedung upacara yang lebih sederhana. Di gedung ini mereka secara miniatur melakukan upacara seperti yang dilakukan golongan senior, dan dalam upacara di kalangannya itu mereka meniru sikap orang senior dan menunjukkan sikap angkuh bercampur ¬membadut".

llustrasi di atas memang tidak bermaksud untuk digeneralisasikan, tetapi adalah kenyataan bahwa belajar yang dilakukan oleh generasi penerus adalah melalui cara cara meniru atau mencontoh.
Masyarakat akan memberikan hadiah (reward) terhadap mereka mereka yang berjalan sesuai dengan aturan yang telah disepakati bersama (konsensus). Hadiah atau reward ini dapat berupa pujian pujian yang diberikan pada seseorang. Selain itu, masyarakat juga akan memberikan hukuman (punishment) kepada anggota masyarakat yang tidak dapat menjalankan konsensus atau menyimpang dari konsensus yang telah disepakati. Hukuman ini bermacam macam bentuk seperti dikenakan denda (pada suku dayak), dipasung (pada beberapa suku jawa), melalui hukum Islam (di Aceh) dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 1988)
Dari apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap anggota masyarakatnya itu, maka seseorang akan banyak belajar tentang suatu perilaku, sikap atau cara berpikir (berdasar reward and punishment). Dari sinilah proses pelestarian budaya itu bisa berjalan dengan ketat dan masyarakat akan menentukan segala apa yang akan dilakukan dan dipikirkan oleh individu.

C. Konseling Lintas Budaya
Dalam mendefinisikan konseling lintas budaya, kita tidak akan dapat lepas dari istilah konseling dan budaya. Pada paparan paparan terdahulu telah disajikan secara lengkap mengenai pengertian konseling dan pengertian budaya. Dalam pengertian konseling terdapat empat elemen pokok yaitu (adanya hubungan, (2) adanya dua individu atau lebih, (3) adanya proses, (4) membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan. Sedangkan dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu (1) merupakan produk budidaya manusia, (2) menentukan ciri seseorang, (3) manusia tidak akan bisa dipisahkan dari budayanya.
Konseling lintas budaya (cross-culture counseling) mempunyai arti suatu hubungan konseling dalam mana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya, nilai nilai dan gaya hidup (Sue et al dalam Suzette et all 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Definisi singkat yang disampaikan oleh Sue dan Atkinson tersebut ternyata telah memberikan definisi konseling lintas budaya secara luas dan menyeluruh.
Dari pengertian di atas, maka konseling lintas buda¬ya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu bisa mengenai nilai nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak memberikan layanan konseling pada klien yang bera¬sal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi, pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin¬ orang Jawa Timur lebih terlihat "kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Dari contoh di atas, terlihat bahwa orang jawa Timur mempunyai nilai nilai sendiri yang berhubungan dengan kesopanan, perilaku, pemikiran dan lain sebagainya dan ini terbungkus dalam satu kata "kasar". Demikian pula individu yang berasal dari jawa Tengah, tentunya dia akan membawa seperangkat nilai nilai, ide, pikiran dan perilaku tertentu yang terbungkus dalam satu kata "halus". Kenyataannya, antara "halus" dan "kasar" itu sulit sekali untuk disatukan dalam kehidupan sehari. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri dalam proses konseling.
Dalam praktik sehari-hari, konselor pasti akan berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya. Dengan demikian, tidak akan mungkin disamakan dalam penanganannya (Prayit¬no, 1994). Perbedaan perbedaan ini memungkinkan terjadinya pertentangan, saling mencurigai, atau perasaan perasaan negatif lainnya. Pertentangan, saling mencurigai atau perasaan yang negatif terhadap mereka yang berlainan budaya sifatnya adalah alamiah atau manusiawi. Sebab, individu akan selalu berusaha untuk bisa mempertahankan atau melestarikan nilai nilai yang selama ini dipegangnya. Jika hal ini muncul dalam pelaksanaan konseling, maka memungkinkan untuk timbul hambatan dalam konseling.
Jika kita memakai pengertian tersebut di atas, maka semua proses konseling akan dikatagorikan sebagai konseling lintas budaya (Speight et all, 1991; Atkinson, dalam Herr, 1939). Hal ini disebabkan setiap konselor dan klien adalah pribadi yang unik. Unik dalam hal ini mempunyai pengertian adanya perbedaan perbedaan tertentu yang sangat prinsip. Setiap manusia adalah berbeda (indivi¬dual deferences). Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita hanya sampai pada definisi konseling lintas budaya saja? Apakah keadaan demikian membuat konseling tidak perlu untuk dilaksanakan? Tidak.
Hal lain yang berhubungan dengan definisi konseling lintas budaya adalah bagaimana konselor dapat bekerja sama dengan klien? Dalam melakukan hubungan konseling dengan klien, maka konselor sebaiknya bisa memahami klien seutuhnya. Memahami klien seutuhnya ini berarti konselar¬ harus dapat memahami budaya spesifik yang mempengaruhi klien, memahami keunikan klien dan memahami manusia secara umum/universal (Speight, 1991).
Memahami budaya spesifik mengandung pengertian bahwa konselor sebaiknya mengerti dan memahami budaya yang dibawa oleh klien sebagai hasil dari sosialisasi dan adaptasi klien dari lingkungannya. Hal ini sangat penting karena setiap klien akan membawa budayanya sendiri¬-sendiri. Klien yang berasal dari budaya barat, tentu akan berbeda dengan klien yang berbudaya timur. Klien yang berbudaya timur jauh akan berbeda dengan klien yang berasal dari asia tenggara dan lain lain.
Pemahaman mengenai budaya spesifik yang dimiliki oleh klien tidak akan terjadi dengan mudah. Untuk hal ini, konselor perlu mempelajarinya dari berbagai Sumber ¬yang menunjang seperti literatur atau pengamatan langsung terhadap budaya klien. Konselor dituntut untuk dapat bertindak secara proaktif didalam usahanya memahami budaya klien. Dengan demikian, sebagai individu yang bersosialisasi, selayaknyalah konselor sering “turun” untuk mengetahui budaya di sekitar klien. Kemampuan konselor untuk dapat memahami kebudayaan di sekitarnya, secara tidak langsung akan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuannya yang pada akhirnya akan mempermudah konselor di dalam memahami klien (Hunt, 1975; Herr, 1989 Lon¬ner & ibrahim,1991).
Memahami keunikan klien mengandung pengertian bahwa klien sebagai individu yang selalu berkembang akan memba¬wa nilai nilai sendiri sesuai dengan tugas perkembangan-nya. Klien selain membawa budaya yang berasal dari lingkungannya, pada akhirnya klien juga membawa seperangkat nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembangan. Sebagai individu yang unik, maka klien akan menentukan sendiri nilai nilai yang akan dipergunakannya. Bahkan bisa terjadi nilai nilai yang diyakini oleh klien ini. bertolak belakang dengan nilai nilai atau budaya yang selama ini dikembangkan di lingkungannya. Hal ini perlu juga dipahami oleh konselor. Karena apapun yang dibicara¬kan dalam konseling, tidak bisa dilepaskan dari individu itu sendiri.
Memahami manusia secara universal mengandung pengertian bahwa nilai nilai yang berlaku di masyarakat ada yang berlaku secara universal atau berlaku di mana saja kita berada. Nilai nilai ini diterima oleh semua masyara¬kat di dunia ini. Salah satu nilai yang sangat umum adalah penghargaan terhadap hidup. Manusia sangat menghargai hidup dan merdeka. Nilai nilai ini mutlak dimiliki oleh semua orang. Nilai-nilai ini akan kita temukan pada saat kita berada di pedalaman Afrika atau pedalaman Irian, sampai dengan di kota-kota besar seperti Los Angeles dan Jakarta.
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling.
Sebagai rangkuman dari apa yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980) dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2. konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3. konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.

Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns (dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas budaya adalah (1) latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor, (2) latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien, (3) asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan (4) nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
Dalam pelaksanaan konseling, terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi lancarnya proses konseling. Kita ketahui bersama bahwa antara konselor dan klien sudah pasti akan membawa budayanya sendiri sendiri. Konselor akan membawa seperangkat budaya yang dibawa dari lingkup dimana dia berasal, dan klien alcan membawa superangkat budaya yang dibawa dari, lingkungan dimana dia berasal.
Selain lingkup (tempat) di mana konselor dan klien berasal, ada satu hal yang penting dan tidak boleh dilupakan bahwa antara konselor dan klien membawa tugas perkembangan masing masing masing. Dan kita ketahui bersama bahwa masing masing tugas perkembangan yang dibawa oleh setiap individu adalah tidak sama. Konselor akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan klien, dia akan membawa tugas perkembangannya sesuai dengan umurnya.
Adapun faktor faktor lain yang secara signifikan mempengaruhi proses konseling lintas budaya adalah a) keadaan demografi yang meliputi jenis kelamin, umur tem¬pat tinggal, b) variabel status seperti pendidikan, poli¬tik dan ekonomi, serta variabel etnografi seperti agama, adat, sistem nilai (Arredondo & Gonsalves, 1980; Canary & Levin dalam Chinapah, 1997; Speight dkk, 1991; Pedersens, 1991; Lipton dalam Westbrook & Sedlacek, 1991).

D. Aplikasi di Sekolah
Dalam proses konseling selalu ada komponen konselor dan klien. Konselor sebagai agen kedua (second agent) akan membantu klien (first agent) dalam memecahkan masalah yang dihadapi klien. Agar pelaksanaan konseling dapat berjalan dengan baik maka ada rambu-rambu yang seharusnya disadari oleh konselor. Rambu-rambu ini diwujudkan dalam bentukpernyataan sebagai konselor lintas budaya yang efektif. Menurut Sue (dalam Arredondo & Gonsalves, 1980) konselor lintas budaya yang efektif adalah konselor yang:
1. memahami nilai-nilaipribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia danmengenali bahwa tiap manusia itu berbeda;
2. sadar bahwa “tidak ada teori konseling yang netral secara politik dan moral”;
3. memehami bahwa kekuatan sosiopolitik akan mempengaruhi dan akan menajamkan perbedaan budaya dalam kelompok;
4. dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup; dan
5. jujur dalam menggunakan konseling eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.

Uraian di atas akan dijelaskan sebegai berikut di bawah ini.

1. Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
Dalam melaksanakan konseling dengan klien, konselor harus sadar penuh terhadap nilai nilai yang dimilikina. Konselor harus sadar bahwa dalam melaksanakan konseling, konselor tidak akan bisa lepas dari nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berada, juga nilai nilai yang sesuai dengan tugas perkembang¬annya. Nilai nilai yang dibawa dari lingkungan di mana dia berasal adalah nilai nilai yang tidak akan bisa dilepaskannya, walaupun dia akan berhubungan dengan klien yang berbeda latar belakangnya.
Menyadari hal tersebut di atas maks konselor sebaiknya juga menyadari bahwa klien yang dibantunya juga berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan tentunya akan membawa seperangkat nilai nilai yang berbeda pula. Klien akan membawa seperangkat nilai-nilai yang berasal di mana klien itu berada dan tentunya nilai nilai klien ini tidak dapat dihilang¬kan begitu saja. Nilai nilai yang dibawa oleh klien akan menentukan segenap perilaku klien pada saat berhadapan dengan konselor.
Sebagai seseorang yang mengetahui banyak tentang ilmu jiwa atau psikologi, konselor tentu memahami adanya tugas tugas perkembangan yang harus dijalani oleh klien. Selain itu, konselor juga harus mengetahui bahwa masing masing tugas perkembangan yang dijalani oleh masing masing individu itu berbeda beda sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian, konselor harus memandang individu yang ada secara berbeda (individual differences).

1 komentar: